Minggu, 24 April 2016
Kamis, 21 April 2016
PERAYAAN HARI KARTINI
Rabu, 20 April 2016
SEJARAH SINGKAT PERJUANGAN RA. KARTINI
RA. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA. Kartini dikenal sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia. Hal ini dimulai ketika Kartini merasakan banyaknya diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita pada masa itu, dimana beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan. Kartini sendiri mengalami kejadian ini ketika ia tidak diperbolehkan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Kartini sering berkorespondensi dengan teman-temannya di luar negeri, dan akhirnya surat-surat tersebut dikumpulkan oleh Abendanon dan diterbitkan sebagai buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Biografi Singkat Kartini
Semasa hidupnya dimulai dengan lahirnya Kartini di keluarga priyayi. Kartini yang memiliki nama panjang Raden Adjeng Kartini ini ialah anak perempuan dari seorang patih yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibu dari Kartini memiliki nama M.A. Ngasirah, istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari ayahnya, bisa dilacak terus hingga Sultan Hamengkubuwono IV, dan garis keturunan Sosroningrat sendiri bisa terus ditelusuri hingga pada masa Kerajaan Majapahit.
Ayah Kartini sendiri awalnya hanyalah seorang wedana (sekarang pembantu Bupati) di Mayong. Pada masa itu, pihak kolonial Belanda mewajibkan siapapun yang menjadi bupati harus memiliki bangsawan sebagai istrinya, dan karena M.A. Ngasirah bukanlah seorang bangsawan, ayahnya kemudian menikah lagi dengan Radeng Adjeng Moerjam, wanita yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. Pernikahan tersebut juga langsung mengangkat kedudukan ayah Kartini menjadi bupati, menggantikan ayah dari R.A. Moerjam, yaitu Tjitrowikromo.
Sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya berawal ketika ia yang berumur 12 tahun dilarang melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School (ELS) dimana ia juga belajar bahasa Belanda. Larangan untuk Kartini mengejar cita-cita bersekolahnya muncul dari orang yang paling dekat dengannya, yaitu ayahnya sendiri. Ayahnya bersikeras Kartini harus tinggal di rumah karena usianya sudah mencapai 12 tahun, berarti ia sudah bisa dipingit. Selama masa ia tinggal di rumah, Kartini kecil mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda, dimana ia kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sering mendukung apapun yang direncanakan Kartini. Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang bagaimana wanita-wanita Eropa mampu berpikir sangat maju. Api tersebut menjadi semakin besar karena ia melihat perempuan-perempuan Indonesia ada pada strata sosial yang amat rendah.
Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca. Sebelum Kartini menginjak umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh orangtuanya. Bupati yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini sebelumnya sudah memiliki istri, namun ternyata suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita. Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak satu-satunya di usia 25 tahun.
Pemikiran dan Surat-Surat Kartini
Wafatnya Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911, dan cetakan terakhir ditambahkan sebuah surat “baru” dari Kartini.
Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.
Semoga ini akan menambah wawasan untuk kita semua, dan agar kita senantiasa akan menghargai jasa-jasa para pahlawan.
Biografi Singkat Kartini
Semasa hidupnya dimulai dengan lahirnya Kartini di keluarga priyayi. Kartini yang memiliki nama panjang Raden Adjeng Kartini ini ialah anak perempuan dari seorang patih yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibu dari Kartini memiliki nama M.A. Ngasirah, istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari ayahnya, bisa dilacak terus hingga Sultan Hamengkubuwono IV, dan garis keturunan Sosroningrat sendiri bisa terus ditelusuri hingga pada masa Kerajaan Majapahit.
Sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya berawal ketika ia yang berumur 12 tahun dilarang melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School (ELS) dimana ia juga belajar bahasa Belanda. Larangan untuk Kartini mengejar cita-cita bersekolahnya muncul dari orang yang paling dekat dengannya, yaitu ayahnya sendiri. Ayahnya bersikeras Kartini harus tinggal di rumah karena usianya sudah mencapai 12 tahun, berarti ia sudah bisa dipingit. Selama masa ia tinggal di rumah, Kartini kecil mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda, dimana ia kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sering mendukung apapun yang direncanakan Kartini. Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang bagaimana wanita-wanita Eropa mampu berpikir sangat maju. Api tersebut menjadi semakin besar karena ia melihat perempuan-perempuan Indonesia ada pada strata sosial yang amat rendah.
Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca. Sebelum Kartini menginjak umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh orangtuanya. Bupati yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini sebelumnya sudah memiliki istri, namun ternyata suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita. Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak satu-satunya di usia 25 tahun.
Pemikiran dan Surat-Surat Kartini
Wafatnya Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911, dan cetakan terakhir ditambahkan sebuah surat “baru” dari Kartini.
Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.
Semoga ini akan menambah wawasan untuk kita semua, dan agar kita senantiasa akan menghargai jasa-jasa para pahlawan.
Selasa, 19 April 2016
SELAYANG PANDANG GMPP
GMPP yang memiliki arti Gerakan Masyarakat Peduli Pesing adalah merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang berada di Jl. Swadaya - Pesing Poglar Kelurahan Kedaung Kaliangke Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat.
Terbentuknya organisasi ini merupakan dampak ledakan emosi dari seluruh warga masyarakat terhadap situasi kampung yang tidak kondusif, dimana makin hari semakin menjamurnya peredaran narkoba, perjudian, traficking, dan lain sebagainya serta kondisi lingkungan kampung yang semakin tidak beraturan karena budaya masyarakatnya yang apatis.
Dari hasil ngobrol-ngobrol ringan antara beberapa tokoh masyarakat dan tokoh pemuda, maka timbullah inisiatif untuk menggalang masyarakat guna membangun kampung ke arah yang lebih baik sebagaimana pada masa lalu yang telah dipelopori oleh para orang tua.
Adapun inti dari ngobrol-ngobrol dimaksud, kami semua menginginkan kampung ini menjadi suatu kawasan yang aman, nyaman, guyub, dan agamis dengan nilai kepedulian yang tinggi baik antar tetangga maupun dengan lingkungan.
Akhirnya pada tanggal 31 Desember 2014 bertepatan dengan perayaan malam tahun baru, seluruh warga masyarakat menyatukan tekad serta mendeklarasikan terbentuknya GMPP serta mencanangkan bahwa hari jadi GMPP jatuh pada tanggal 1 Januari.
Seiring perjalanan waktu keberadaan GMPP semakin berkembang dengan berbagai aktivitasnya yang tidak pernah berhenti, dan ini berdampak langsung dengan tingginya silaturahmi antar masyarakat dan semakin tingginya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Hal ini terjadi karna di dalam struktur oragnisasi GMPP dibagi habis dengan seksi-seksi yang mempunyai program kepedulian yang luar biasa.
Adapun struktur Organisasi GMPP yang ada saat ini adalah :
- Pemberian les pelajaran gratis bagi anak-anak sekolah setelah sholat maghrib
- Latihan Futsal untuk anak-anak dan remaja setiap sore
- Latihan Volley Ball utk kaum bapak dan kaum ibu
- Latihan Bulu Tangkis setiap malam
- Latihan Pencak Silat setiap malem minggu
- Senam Pagi setiap hari minggu
- Pelatihan pemilahan sampah dan pembuatan komposting
- Pengajian Rutin setiap malem senin
- Pengajian Akbar setiap 3 bulan sekali
- Perayaan hari-hari besar, seperti Hari Kartini, HUT Jakarta, HUT RI, dll
- Taraweh bersama, pemberian Ta'zil, perayaan Nuzulul Quran, dan Lebaran Kampung Pesing
- Perayaan Hari Jadi GMPP
- Dan masih banyak yang lainnya.
Semoga ALLAH SWT senantiasa meridhoi niat baik kita semua.... Amiiin.
Langganan:
Postingan (Atom)